Berlian, sama halnya seperti minyak, selama bertahun-tahun telah menjadi bahan bakar peperangan dan kejahatan kemanusiaan. Di wilayah Afrika, berlian menjadi komoditas yang untuk memerolehnya harus menggunakan darah.
Republik Demokratik Kongo bisa dibilang sebagai salah satu wilayah di Afrika yang kerap bergejolak. Negeri ini memiliki kekayaan mineral berlimpah. Namun sayangnya, sumber mineral yang berlimpah itu telah disedot untuk mendanai perang dan bagi keuntungan pribadi, sementara kebanyakan warganya hidup di bawah garis kemiskinan.
Persatuan Bangsa-Bangsa menyebut kegiatan penambangan liar telah menjadi penyedia dana bagi kelompok pemberontak, termasuk kelompok bersenjata Jenderal Laurent Nkunda.
Selama ini banyak rakyat Kongo yang menjadi korban tewas akibat kekerasan yang terjadi, dan lebih dari 250.000 penduduk meninggalkan rumah mereka. Perang saudara yang terjadi di Kongo diam-diam bahkan telah menciptakan kengerian tersendiri bagi kaum hawa di sana. Setiap hari, sekitar 30 wanita dirudapaksa oleh anggota kelompok separatis yang tinggal di hutan belantara. Dalam catatan Denis Mukwege, seorang ginekologi RD Kongo, setiap hari terdapat 10–30 pasien wanita yang sekarat akibat dirudapaksa.
Dunia internasional sebenarnya telah memberikan perhatian khusus bagi upaya damai di Kongo, terutama untuk menghentikan penggunaan kekayaan mineral Kongo untuk membeli persenjataan.
Para pekerja di Kongo dipaksa bekerja keras untuk menyadap berlian, emas, tembaga, dan timah oksida (cassiterite), di ribuan pertambangan liar yang berada di wilayah timur Kongo.
Para pemberontak, termasuk pula tentara Kongo, memperdagangkan hasil yang diperoleh para pekerja itu untuk mendapatkan uang sebagai sarana agar dapat terus berperang. Perebutan ladang mineral itulah yang menjadi alasan agar peperangan terus berkepanjangan.
Kongo menyimpan sekira 5% cadangan timah oksida, yaitu bijih utama timah dan merupakan bahan baku krusial untuk produksi seluruh sirkuit elektronik.
“Untuk mencapai pasar dunia, bijih timah oksida terbang ke ibu kota Goma dan kemudian melewati Rwanda dan Ugana, lalu mencapai pelabuhan Mombasa di Kenya dan Dar es Salaam di Tanzania,” kata Harrison Mitchell dari Resource Consulting Service, dikutip dari BBC.
Bijih itu kemudian dikapalkan kepada perusahaan peleburan yang membelinya di pasar terbuka. Lalu perusahaan peleburan itu menjualnya ke pembuat komponen yang berada di India, China, Malaysia, dan Thailand.
Belakangan ini muncul desakan agar para pebisnis mengecek dengan seksama asal berlian yang mereka perdagangkan. Hal yang sama juga berlaku pada perdagangan timah oksida.
“Kami telah berbicara dengan perusahaan elektronik besar, dan kami mendapati pengguna akhir dari timah umumnya tidak sadar dari mana asal produk itu,” kata Mitchell.
Kisah yang terjadi di Kongo ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan keadaan di beberapa negara Afrika lainnya, seperti Sierra Leone, Angola, dan Kongo. Kisah di Sierra Leone, misalnya, dapat kita saksikan melalui film Blood Diamond yang diperankan Leonardo Di Caprio dan Djimon Hounsou.
Blood Diamond belakangan semakin membuka mata dunia mengenai keterkaitan perang yang terjadi di tanah Afrika dengan keuntungan yang didapat perusahaan-perusahaan berlian semacam De Beers.
Yang jelas, berlian telah membuat peperangan menjadi abadi di Afrika, sebagaimana slogan De Beers bahwa “berlian adalah abadi”.
0 comments:
Post a Comment